![]() |
Provinsi Nanggro Aceh Darussalam (NAD) Ibukota nya adalah Banda Aceh
Berdiri :7 Desember 1959
Dasar Hukum : UU 24/1956
Dasar Hukum : UU 24/1956
Letak :Pulau Sumatera ( 2º-6ºLU dan 95º-99ºBT )
Tanda Plat Nomor Kendaraan : BL
Luas Wilayah : 57.365,57 km².
Bandar Udara : Sultan Iskandar Muda ( Banda Aceh)
Pelabuhan Laut : Balohan (Sabang)
Pahlawan : Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Teuku Cik Di Tiro, Teuku Nyak Arief, Sultan Iskandar Muda,dll.
Perguruan Tinggi Negeri : Universitas Syah Kuala, IAIN Ar-Raniry
Makanan Khas Daerah : Timpan, Masak udang cumi, Gulai Aceh,Daging masak pedas,
Korma kambing, Sie Reubeouh cuka, Gulai kepala ikan,Kanji Rumbi,dll.
Korma kambing, Sie Reubeouh cuka, Gulai kepala ikan,Kanji Rumbi,dll.
Obyek Wisata : Taman Nasional Unung Leuser, Mesjid Baiturrahman, Taman Laut Pulau Rubiah, Danau Anuek, Laout, Bekas Kerajaan Samudera Pasai, Pemandian Air Panas Simpang Balek,dll.
Peninggalan Sejarah :
1.Kherkoff,Kuburan Belanda yang membuktikan perlawanan
rakyat Aceh terhadap penjajahan Belanda.
1.Kherkoff,Kuburan Belanda yang membuktikan perlawanan
rakyat Aceh terhadap penjajahan Belanda.
2. Makam Sultan Iskandar Muda, yang merupakan simbol kejayaan dari Kerajaan Aceh pada masa lalu.
Industri dan Pertambangan : Pabrik Semen Andalas,Pupuk AAF,Minyak,Emas, dan Perak.
- Kabupaten Aceh Barat, (Meulaboh).
- Kabupaten Aceh Barat Daya, (Blangpidie).
- Kabupaten Aceh Besar, (Kota Jantho).
- Kabupaten Aceh Jaya, (Calang).
- Kabupaten Aceh Selatan, (Tapak Tuan).
- Kabupaten Aceh Singkil, (Singkil).
- Kabupaten Aceh Tamiang, (Karang Baru).
- Kabupaten Aceh Tengah, (Takengon).
- Kabupaten Aceh Tenggara, (Kutacane).
- Kabupaten Aceh Timur, (Idi Rayeuk).
- Kabupaten Aceh Utara, (Lhoksukon).
- Kabupaten Bener Meriah, (Simpang Tiga Redelong).
- Kabupaten Bireuen, (Bireuen).
- Kabupaten Gayo Lues, (Blang Kejeren).
- Kabupaten Nagan Raya, (Suka Makmue).
- Kabupaten Pidie, (Sigli).
- Kabupaten Pidie Jaya, (Meureudu).
- Kabupaten Simeulue, (Sinabang).
- Kota Banda Aceh, (Banda Aceh).
- Kota Langsa, (Langsa).
- Kota Lhokseumawe, (Lhokseumawe).
- Kota Sabang, (Sabang).
- Kota Subulussalam, (Subulussalam).
Rumoh Aceh (Rumah Tradisional Melayu Aceh di Provinsi Aceh)
Kepercayaan
individu atau masyarakat dan kondisi alam di mana individu atau
masyarakat hidup mempunyai pengaruh signifikan terhadap bentuk
arsitektur bangunan, rumah, yang dibuat. Hal ini dapat dilihat pada
arsitektur Rumoh Aceh, Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Indonesia. Rumoh
Aceh merupakan rumah panggung dengan tinggi tiang antara 2,50-3 meter,
terdiri dari tiga atau lima ruang, dengan satu ruang utama yang
dinamakan rambat. Rumoh dengan tiga ruang memiliki 16 tiang, sedangkan
Rumoh dengan lima ruang memiliki 24 tiang. Modifikasi dari tiga ke lima
ruang atau sebaliknya bisa dilakukan dengan mudah, tinggal menambah atau
menghilangkan bagian yang ada di sisi kiri atau kanan rumah. Bagian ini
biasa disebut sramoe likot atau serambi belakang dan sramoe reunyeun
atau serambi bertangga, yaitu tempat masuk ke Rumoh yang selalu berada
di sebelah timur.
Pintu
utama Rumoh Aceh tingginya selalu lebih rendah dari ketinggian orang
dewasa. Biasanya ketinggian pintu ini hanya berukuran 120-150 cm
sehingga setiap orang yang masuk ke Rumoh Aceh harus menunduk. Namun,
begitu masuk, kita akan merasakan ruang yang sangat lapang karena di
dalam rumah tak ada perabot berupa kursi atau meja. Semua orang duduk
bersila di atas tikar ngom (dari bahan sejenis ilalang yang tumbuh di
rawa) yang dilapisi tikar pandan.
Rumoh
Aceh bukan sekadar tempat hunian, tetapi merupakan ekspresi keyakinan
terhadap Tuhan dan adaptasi terhadap alam. Oleh karena itu, melalui
Rumoh Aceh kita dapat melihat budaya, pola hidup, dan nilai-nilai yang
diyakini oleh masyarakat Aceh. Adaptasi masyarakat Aceh
terhadap lingkungannya dapat dilihat dari bentuk Rumoh Aceh yang
berbentuk panggung, tiang penyangganya ang terbuat dari kayu pilihan,
dindingnya dari papan, dan atapnya dari rumbia. Pemanfaatan alam juga
dapat dilihat ketika mereka hendak menggabungkan bagian-bagian rumah,
mereka tidak menggunakan paku tetapi menggunakan pasak atau tali
pengikat dari rotan. Walaupun hanya terbuat dari kayu, beratap daun
rumbia, dan tidak menggunakan paku, Rumoh Aceh bisa bertahan hingga 200
tahun.
Pengaruh
keyakinan masyarakat Aceh terhadap arsitektur bangunan rumahnya dapat
dilihat pada orientasi rumah yang selalu berbentuk memanjang dari timur
ke barat, yaitu bagian depan menghadap ke timur dan sisi dalam atau
belakang yang sakral berada di barat. Arah Barat mencerminkan upaya
masyarakat Aceh untuk membangun garis imajiner dengan Ka‘bah yang berada
di Mekkah. Selain itu, pengaruh keyakinan dapat juga dilihat pada
penggunaan tiang-tiang penyangganya yang selalu berjumlah genap, jumlah
ruangannya yang selalu ganjil, dan anak tangganya yang berjumlah ganjil.
Selain
sebagai manifestasi dari keyakinan masyarakat dan adaptasi terhadap
lingkungannya, keberadaan Rumoh Aceh juga untuk menunjukan status sosial
penghuninya. Semakin banyak hiasan pada Rumoh Aceh, maka pastilah
penghuninya semakin kaya. Bagi keluarga yang tidak mempunyai kekayaan
berlebih, maka cukup dengan hiasan yang relatif sedikit atau bahkan
tidak ada sama sekali.
Seiring
perkembangan zaman yang menuntut semua hal dikerjakan secara efektif
dan efisien, dan semakin mahalnya biaya pembuatan dan perawatan Rumoh
Aceh, maka lambat laun semakin sedikit orang Aceh yang membangun rumah
tradisional ini. Akibatnya, jumlah Rumoh Aceh semakin hari semakin
sedikit. Masyarakat lebih memilih untuk membangun rumah modern berbahan
beton yang pembuatan dan pengadaan bahannya lebih mudah daripada Rumoh
Aceh yang pembuatannya lebih rumit, pengadaan bahannya lebih sulit, dan
biaya perawatannya lebih mahal. Namun, ada juga orang-orang yang karena
kecintaannya terhadap arsitektur warisan nenek moyang mereka ini membuat
Rumoh Aceh yang ditempelkan pada rumah beton mereka.
Keberadaan
Rumoh Aceh merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai yang hidup dan
dijalankan oleh masyarakat Aceh. Oleh karena itu, melestarikan Rumoh
Aceh berarti juga melestarikan eksistensi masyarakat Aceh itu sendiri.
Ide pelestarian Rumoh Aceh akan semakin menemukan momentum pasca tsunami
yang menimpa Aceh pada taggal 26 Desember 2004. Pasca tragedi bencana
alam tersebut, beragam orang dari berbagai bangsa datang tidak hanya
membawa bantuan tetapi juga membawa tradisi yang belum tentu cocok
dengan nilai-nilai yang berkembang di Aceh.

Rencong
memiliki kemiripan rupa dengan keris. Panjang mata pisau rencong dapat
bervariasi dari 10 cm sampai 50 cm. Matau pisau tersebut dapat
berlengkung seperti keris, namun dalam banyak rencong, dapat juga lurus
seperti pedang. Rencong dimasukkan ke dalam
sarungbelati yang terbuat dari kayu, gading, tanduk, atau kadang-kadang
logam perak atau emas. Dalam pembawaan, rencong diselipkan di antara
sabuk di depan perut pemakai.
Rencong
memiliki tingkatan; untuk raja atau sultan biasanya sarungnya terbuat
dari gading dan mata pisaunya dari emas dan berukirkan sekutip ayat
suci dari Alquran Agama Islam. Sedangkan rencong-rencong lainnya
biasanya terbuat dari tanduk kerbau ataupun kayu sebagai sarungnya, dan
kuningan atau besi putih sebagai belatinya.
Seperti
kepercayaan keris dalam masyarakat Jawa, masyarakat tradisional Aceh
menghubungkan kekuatan mistik dengan senjata rencong. Rencong masih
digunakan dan dipakai sebagai atribut busana dalam upacara tradisional
Aceh. Masyarakat Aceh mempercayai bahwa bentuk dari rencong mewakili
simbol dari basmallah dari kepercayaan agama Islam.
Rencong begitu populer di masyarakat Aceh sehingga Aceh juga dikenal dengan sebutan "Tanah Rencong".

Aceh Barat adalah wilayah pesisir bagian barat propinsi Aceh yang dewasa ini meliputi 2 kabupaten luas yakni Aceh Barat dan Aceh Selatan. Dua kota yang berkembang di daerah tersebut adalah Tapaktuan, ibukota Aceh Selatan dan Meulaboh ibukota Aceh Barat. Meulaboh, dimasa lalu menjadi bandar yang cukup ramai didatangi oleh para niagawan manca negara. Mereka membawa serta aneka keterampilan serta kebiasaan yang memperkaya budaya setempat sehingga tampil sebagaimana dewasa ini dikenal dengan gaya Aceh Barat. Oleh karena itu masyarakat Aceh Barat (dan Selatan) memiliki ciri tersendiri dalam ungkapan budayanya dibandingkan dengan kawasan Aceh lainnya. Sementara itu produk-produk asli yang merupakan bagian utama dari ungkapan budaya masyarakat tampak pada ukiran kayu, pembuatan senjata tajam, seni kerajinan sulam benang emas, sulam perca dan tenunan sutra.
Pakaian upacara adat gaya Aceh Besar dengan tata warna dan corak-corak sulaman benang emas yang khas. Sulaman khusus pada latar hitam untuk baje meukasah (jas), sarung songket pinggang pria (ija lamgugap) dan wanita (ija pinggang).
Meulaboh dan daerah-daerah sekitarnya seperti Bubon dan Lamnau merupakan pusat-pusat kerajinan sulaman yang amat terkemuka untuk baju adat perkawinan dan terkenal dengan sebutan bajee cop meulaboh.
Detail kopiah mukeutop Aceh Besar dan pinggir krah boy meukasah yang dihiasi dengan corak sulaman emas. Detail hiasan-hiasan dada, pinggang dan tangan pada busana wanita, upacara adat Aceh Besar yang terdiri atas kaluny bahru (leher). taloesusun Ihee (dada) dan taloe keuing (pinggang). Pergelangan tangan dihias oleh yleung pucok reubany (gelang pucuk rebung).
Sebagaimana dengan daerah-daerah Aceh lainnya, masyarakat serta adat Aceh Barat berangkat dari ketaatan yang kuat pada agama Islam. Peranan agama Islam membentuk kebudayaan Aceh Barat sebagai kebudayaan Islam ditengah-tengah perbaurannya dengan pengaruh-pengaruh luar dan pada gilirannya menjadi agama dan budaya semua kelompok yang ada disitu.
Jenis-jenis pakaian adat Aceh Barat
Pada masa lampau pelapisan status sosial yang ada di masyarakat menyebabkan busana-busana adat Aceh Barat tampil dalam beberapa variasi yaitu pakaian :
1. Ulee Balang untuk raja beserta keluarganya
2. Ulee Balang Cut dan Ulama
3. Patut-patut (pejabat negara), tokoh masyarakat clan cerdik pandai
4. Rakyat jelata
Dimasa kini walaupun masih ada aspresiasi dari masyarakat , khususnya terhadap para pemegang gelar kebangsawanan atau jabatan masa lalu, pelapisan sosial berikut- tatabusananya sudah amat jarang ditemui. Busana yang menonjol dewasa ini adalah yang dikenakan pada upacara adat perkawinan, khususnya akibat munculnya kembali apresiasi terhadap budaya ash daerah akhir-akhir ini.

Arbab

Musik Arbab pernah berkembang di daerah Pidie, Aceh Besar dan Aceh Barat. Arbab ini dipertunjukkan pada acara-acara keramaian rakyat, seperti hiburan rakyat, pasar malam dsb. Sekarang ini tidak pernah dijumpai kesenian ini, diperkirakan sudah mulai punah. Terakhir kesenian ini dapat dilihat pada zaman pemerintahan Belanda dan pendudukan Jepang.
Bangsi Alas
Bangsi Alas adalah sejenis isntrumen tiup dari bambu yang dijumpai di daerah Alas, Kabupeten Aceh Tenggara. Secara tradisional pembuatan Bangsi dikaitkan dengan adanya orang meninggal dunia di kampung/desa tempat Bangsi dibuat. Apabila diketahui ada seorang meninggal dunia, Bangsi yang telah siap dibuat sengaja dihanyutkan disungai. Setelah diikuti terus sampai Bangsi tersebut diambil oleh anak-anak, kemudian Bangsi yang telah di ambil anak-anak tadi dirampas lagi oleh pembuatnya dari tangan anak-anak yang mengambilnya. Bangsi inilah nantinya yang akan dipakai sebagai Bangsi yang merdu suaranya. Ada juga Bangsi kepunyaan orang kaya yang sering dibungkus dengan perak atau suasa.
Serune Kalee (Serunai)

Serune Kalee bersama-sama dengan geundrang dan Rapai merupakan suatau perangkatan musik yang dari semenjak jayanya kerajaan Aceh Darussalam sampai sekarang tetap menghiasi/mewarnai kebudayaan tradisional Aceh disektor musik.
Rapai
Rapai terbuat dari bahan dasar berupa kayu dan kulit binatang. Bentuknya seperti rebana dengan warna dasar hitam dan kuning muda. Sejenis instrumen musik pukul (percussi) yang berfungsi pengiring kesenian tradisional.
Rapai ini banyak jenisnya : Rapai Pasee (Rapai gantung), Rapai Daboih, Rapai Geurimpheng (rapai macam), Rapai Pulot dan Rapai Anak.
Geundrang (Gendang)

Tambo

Sekarang jarang digunakan (hampir punah) karena fungsinya telah terdesak olah alat teknologi microphone.
Taktok Trieng
Taktok Trieng juga sejenis alat pukul yang terbuat dari bambu. Alat ini dijumpai di daerah kabupaten Pidie, Aceh Besar dan beberapa kabupaten lainnya. Taktok Trieng dikenal ada 2 jenis :
Yang dipergunakan di Meunasah (langgar-langgar), dibalai-balai pertemuan dan ditempat-tempat lain yang dipandang wajar untuk diletakkan alat ini.
jenis yang dipergunakan disawah-sawah berfungsi untuk mengusir burung ataupun serangga lain yang mengancam tanaman padi. Jenis ini biasanya diletakkan ditengah sawah dan dihubungkan dengan tali sampai ke dangau (gubuk tempat menunggu padi di sawah).
Bereguh

Fungsi dari Bereguh hanya sebagai alat komunikasi terutama apabila berada dihutan/berjauhan tempat antara seorang dengan orang lainnya. Sekarang ini Bereguh telah jarang dipergunakan orang, diperkirakan telah mulai punah penggunaannya.
Canang
Perkataan Canang dapat diartikan dalam beberapa pengertian. Dari beberapa alat kesenian tradisional Aceh, Canang secara sepintas lalu ditafsirkan sebagai alat musik yang dipukul, terbuat dari kuningan menyerupai gong. Hampir semua daerah di Aceh terdapat alat musik Canang dan memiliki pengertian dan fungsi yang berbeda-beda.
Fungsi Canang secara umum sebagai penggiring tarian-tarian tradisional serta Canang juga sebagai hiburan bagi anak-anak gadis yang sedang berkumpul. Biasanya dimainkan setelah menyelesaikan pekerjaan di sawah ataupun pengisi waktu senggang.
Celempong

Celempong dimainkan oleh kaum wanita terutama gadis-gadis, tapi sekarang hanya orang tua (wanita) saja yang dapat memainkannnya dengan sempurna. Celempong juga digunakan sebagai iringan tari Inai. Diperkirakan Celempong ini telah berusia lebih dari 100 tahun berada di daerah Tamiang.
Bila saudara ada informasi tambahan tolong tambahkan dikotak komentar demi melestarikan hasil karya endatu kita yang dengan susah payah telah membawa Aceh ke masa yang gilang gemilang di zaman keemasan ksultanan yang tak mungkin terulang lagi...?

Dalam ratoh, dapat diceritakan berbagai hal, dari kisah sedih, gembira, nasehat, sampai pada kisah-kisah yang membangkitkan semangat. Ulama yang mengembangkan agama Islam di Aceh umumnya berasal dari negeri Arab. Karena itu, istilah-istilah yang dipakai dalam seudati umumnya berasal dari bahasa Arab. Diantaranya istilah Syeh yang berarti pemimpin, Saman yang berarti delapan, dan Syair yang berarti nyayian.
Tari Seudati sekarang sudah berkembang ke seluruh daerah Aceh dan digemari oleh masyarakat. Selain dimanfaatkan sebagai media dakwah, Seudati juga menjadi pertunjukan hiburan untuk rakyat.
ASAL USUL TARI SEUDATI
Tari Seudati pada mulanya tumbuh di desa Gigieng, Kecamatan Simpang Tiga, Kabupaten Pidie, yang dipimpin oleh Syeh Tam. Kemudian berkembang ke desa Didoh, Kecamatan Mutiara, Kabupaten Pidie yang dipimpin oleh Syeh Ali Didoh. Tari Seudati berasal dari kabupaten Pidie. Seudati termasuk salah satu tari tradisional Aceh yang dilestarikan dan kini menjadi kesenian pembinaan hingga ke tingkat Sekolah Dasar.
Seudati ditarikan oleh delapan orang laki-laki sebagai penari utama, terdiri dari satu orang pemimpin yang disebut syeikh , satu orang pembantu syeikh, dua orang pembantu di sebelah kiri yang disebut apeetwie, satu orang pembantu di belakang yang disebut apeet bak , dan tiga orang pembantu biasa. Selain itu, ada pula dua orang penyanyi sebagai pengiring tari yang disebut aneuk syahi.
Jenis tarian ini tidak menggunakan alat musik, tetapi hanya membawakan beberapa gerakan, seperti tepukan tangan ke dada dan pinggul, hentakan kaki ke tanah dan petikan jari. Gerakan tersebut mengikuti irama dan tempo lagu yang dinyanyikan. Bebarapa gerakan tersebut cukup dinamis dan lincah dengan penuh semangat. Namun, ada beberapa gerakan yang tampak kaku, tetapi sebenarnya memperlihatkan keperkasaan dan kegagahan si penarinya. Selain itu, tepukan tangan ke dada dan perut mengesankan kesombongan sekaligus kesatria.
Busana tarian seudati terdiri dari celana panjang dan kaos oblong lengan panjang yang ketat, keduanya berwarna putih; kain songket yang dililitkan sebatas paha dan pinggang; rencong yang disisipkan di pinggang; tangkulok (ikat kepala) yang berwarna merah yang diikatkan di kepala; dan sapu tangan yang berwarna. Busana seragam ini hanya untuk pemain utamanya, sementara aneuk syahi tidak harus berbusana seragam. Bagian-bagian terpenting dalam tarian seudati terdiri dari likok (gaya; tarian), saman (melodi), irama kelincahan, serta kisah yang menceritakan tentang kisah kepahlawanan, sejarah dan tema-tema agama.
Pada umumnya, tarian ini diperagakan di atas pentas dan dibagi menjadi beberapa babak, antara lain: Babak pertama, diawali dengan saleum (salam) perkenalan yang ucapkan oleh aneuk syahi saja, yaitu:
Assalamualaikum Lon tamong lam seung,
Lon jak bri saleum keu bang syekh teuku….
Fungsi aneuk syahi untuk mengiringi seluruh rangkaian tari. Salam pertama ini dibalas oleh Syeikh dengan langgam (nada) yang berbeda:
Kru seumangat lon tamong lam seung,
lon jak bri saleum ke jamee teuku….
Syair di atas diulangi oleh kedua apeetwie dan apeet bak. Pada babak perkenalan ini, delapan penari hanya melenggokkan tubuhnya dalam gerakan gemulai, tepuk dada serta jentikan delapan jari yang mengikuti gerak irama lagu. Gerakan rancak baru terlihat ketika memasuki babak selanjutnya. Bila pementasan bersifat perntandingan, maka setelah kelompok pertama ini menyelesaikan babak pertama, akan dilanjutkan oleh kelompok kedua dengan teknik yang berbeda pula.
Biasanya, kelompok pertama akan turun dari pentas. Babak kedua, dimulai dengan bak saman , yaitu seluruh penari utama berdiri dengan membuat lingkaran di tengah-tengah pentas guna mencocokkan suara dan menentukan likok apa saja yang akan dimainkan. Syeikh berada di tengah-tengah lingkaran tersebut. Bentuk lingkaran ini menyimbolkan bahwa masyarakat Aceh selalu muepakat (bermusyawarah) dalam mengambil segala keputusan. Muepakat itu, jika dikaitkan dengan konteks tarian ini, adalah bermusyawarah untuk menentukan saman atau likok yang akan dimainkan.
Di dalam likok dipertunjukkan keseragaman gerak, kelincahan bermain dan ketangkasan yang sesuai dengan lantunan lagu yang dinyanyikan aneuk syahi . Lantunan likok tersebut diawali dengan:
Iiiiii la lah alah ya ilalah…. (secara lambat dan cepat)
Seluruh penari utama akan mengikuti irama lagu yang dinyanyikan secara cepat atau lambat tergantung dengan lantunan yang dinyanyikan oleh aneuk syahi tersebut. Fase lain adalah fase saman . Dalam fase ini beragam syair dan pantun saling disampaikan dan terdengar bersahutan antara aneuk syahi dan syeikh yang diikuti oleh semua penari. Ketika syeikh melontarkan ucapan:
walahuet seuneut apet ee kataheee, hai syam,
maka anek syahi akan menimpali dengan jawaban:
lom ka dicong bak iboih, anuek puyeh ngon cicem subang.
Untuk menghilangkan rasa jenuh para penonton, setiap babak ditutup dengan formasi lanie, yaitu memperbaiki formasi yang sebelumnya sudah tidak beraturan.
Artikel ini dikutip dari berbagai sumber yang terkait. Termasuk wawancara langung dengan salah seorang penari seudati terkemuka di Aceh, Syeh La Geunta.
TARI SAMAN

Sejarah Tari Saman
Tari dari Aceh ini disebut Tari Saman karena diciptakan oleh seorang ulaman yang bernama Syekh Saman pada sekitar abad XIV Masehi, dari dataran tinggi Gayo. Awalnya, tarian ini hanyalah berupa permainan rakyat yang dinamakan Pok Ane. Namun, kemudian ditambahkan iringan syair-syair yang berisi puji-pujian kepada Allah SWT, serta diiringi pula oleh kombinasi tepukan-tepukan para penari. Saat itu, tari saman menjadi salah satu media dakwah. Tari Saman mencerminkan pendidikan, keagamaan, sopan santun, kepahlawanan, kekompakan dan kebersamaan.
Penari Tari Saman
Para pemain Tari Saman ini terdiri dari pemuda laki-laki yang menggunakan pakaian adat. Pada umumnya, Tarian saman dimainkan oleh belasan atau puluhan laki-laki, namun jumlahnya harus ganjil. Ada Pendapat lain yang mengatakan bahwa Tarian ini ditarikan kurang lebih dari 10 orang, dengan rincian 8 penari dan 2 orang sebagai pemberi aba-aba sambil bernyanyi. Namun, dalam perkembangan di era modern yang menghendaki bahwa suatu tarian itu akan semakin semarak apabila ditarikan oleh penari dengan jumlah yang lebih banyak. Untuk mengatur berbagai gerakannya ditunjuklah seorang pemimpin yang disebut syeikh. Selain mengatur gerakan para penari, Syeikh juga bertugas menyanyikan syair-syair lagu saman. yaitu ganit.
Nyanyian Tari Saman
Sebelum tari saman dimulai ada sebuah pembukaan yang dilakukan oleh seorang tua cerdik pandai atau yang biasa disebut pemuka adat dari masyarakat setempat untuk menyampaikan nasihat-nasihat yang bermanfaat bagi para pemain atau mereka yang menyaksikan tari saman.
Tari Saman Aceh
Dalam menyanyikan lagu dan syair pada tari saman dilakukan secara bersamaan dan berkelanjutan. Cara menyanyikan lagu-lagu dalam tari saman dibagi dalam 5 macam :
Rengum, yaitu auman yang diawali oleh pengangkat.
Dering, yaitu regnum yang segera diikuti oleh semua penari.
Redet, yaitu lagu singkat dengan suara pendek yang dinyanyikan oleh seorang penari pada bagian tengah tari.
Syek, yaitu lagu yang dinyanyikan oleh seorang penari dengan suara panjang tinggi melengking, biasanya sebagai tanda perubahan gerak
Saur, yaitu lagu yang diulang bersama oleh seluruh penari setelah dinyanyikan oleh penari solo.
Gerakan Tari Saman
Tarian saman menggunakan dua unsur gerak yang menjadi unsur dasar dalam tarian saman, Yaitu Tepuk tangan dan tepuk dada. Diduga, ketika menyebarkan agama islam, syeikh saman mempelajari tarian melayu kuno,kemudian menghadirkan kembali lewat gerak yang disertai dengan syair-syair dakwah islam untuk memudakan dakwahnya. Dalam konteks kekinian, tarian ritual yang bersifat religius ini masih digunakan sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah melalui pertunjukan-pertunjukan. Tarian saman termasuk salah satu tarian yang cukup unik,kerena hanya menampilkan gerak tepuk tangan gerakan-gerakan lainnya, seperti gerak guncang, kirep, lingang, surang-saring (semua gerak ini adalah bahasa Gayo)
Tari saman membutuhkan keseragaman formasi dan ketepatan waktu, jadi para penari harus memiliki konsentrasi yang tinggi dan latihan yang serius agar dapat membawakan tari sampan dengan sempurna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar